Hapusnya Pidana Mati Menurut KUHP Baru: Mewujudkan Tujuan Pembaharuan Hukum Pidana

OPINI,SUARA24.COM

Oleh : Ramlan Damanik, S.H.

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Pidana mati masih menjadi perdebatan antara pihak yang pro dan kontra. Pandangan ahli-ahli hukum yang menyetujui berlakunya pidana mati, pada umumnya didasarkan dengan adanya alasan konvensional yaitu pidana mati sangat diperlukan untuk menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi. Sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati umumnya menjadikan alasan bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah dilakukannya eksekusi didapati adanya kesalahan atas vonis yang dijatuhkan oleh hakim.

Pidana mati didalam hukum positif Indonesia masih berlaku berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, pemberlakuan pidana mati tersebut karena dianggap masih relevan dengan nilai-nilai didalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan dengan Pancasila. Kaum retensionis sebagai pihak yang mendukung pemberlakuan pidana mati merumuskan pidana mati lazimnya itu bersifat transcendental, dibangun dari conceptual abstraction, yang mencoba melihat pidana mati hanya dari segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan. Dalam pengertian khusus teori absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan manifestasi sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga keseimbangan dalam tertib hukum.  Sebagaimana diketahui terdapat perubahan paradigma yang semula pidana mati merupakan bagian dari pidana pokok. Saat ini pidana mati berubah menjadi pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif sesuai ketentuan Pasal 67 KUHP baru.

Penjelasan dalam ketentuan Pasal 67 KUHP baru, menyebutkan bahwa Tindak Pidana yang dapat diancam dengan pidana yang bersifat khusus adalah Tindak Pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara lain, Tindak Pidana narkotika, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, dan Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia. Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat (Pasal 98). Pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara altematif dengan pidana penjara seumur hidup. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup.

Berdasarkan ketentuan Pasal 100 ayat (1) KUHP baru Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan : a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana. Ayat (2) menyatakan bahwa Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Ayat (3) memuat tentang Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (4) menyatakan bahwa Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Selanjutnya ayat (5) menyatakan Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan. Dan kemudian ayat (6) menyatakan Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukan sikap dan perbuatan terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Dan terakhir ketentntuan Pasal 101 menyatakan, Jika Permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Menurut Edward Omar Sharif Hiariej (WAMEN KUMHAM), KUHP yang lama sudah berusia 222 tahun dan memiliki paradigma sebagai hukum pidana pembalasan. Sedangkan KUHP baru merujuk pada paradigma hukum pidana modern yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif.  Perubahan paradigma yang mendasar tersebut dapat dilihat secara nyata dalam pembaharuan pidana mati. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lama pidana mati merupakan bagian dari pidana pokok hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 10. Sedangkan didalam Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru menyebutkan : “Pidana mati diancamkan secara alternatif untuk mencegah dilakukanya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.”

Dengan diberlakukannya pidana mati secara alternatif dapat menjadi sarana hapunsya pidana mati yang dijatuhkan terhadap seorang narapidana. Apabila seorang narapidana yang di vonis dengan pidana mati dianggap berkelakuan baik saat serta menujukan sikap dan perbuatan terpuji selama menjalani masa hukuman percobaan 10 tahun, maka pidana mati yang dijatuhkan dapat diubah menjadi pidana seumur hidup. Begitu juga ketika grasi terpidana mati ditolak dan setelah 10 tahun sejak grasi tersebut ditolak pidana mati tidak dilaksanaka, maka berdasarkan keputusan Presiden Pidana Mati diubah menjadi pidana seumur hidup.

Pembaharuan hukum pidana terkait pidana mati yang semula sebagai pidana pokok dan saat ini menjadi pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif, diharapkan bisa mewujudkan keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitative sebagaimana yang dicita-citakan. Namun, perlu juga kiranya diperhatikan dan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan pidana mati secara alternatif tersebut, karena bisa berpotensi adanya peluang penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk mengubah pidana mati menjadi pidana seumur hidup. Narapidana yang telah di vonis dengan pidana mati tentunya akan berusaha agar pidana mati yang dijatuhkan padanya dapat berubah menjadi pidana seumur hidup, baik dengan memperbaiki diri atau perilaku, maupun memberikan uang kepada pejabat yang berwenang. Semoga pembaharuan pidana mati ini tidak menjadi ajang transaksional jual beli nyawa para narapidana yang dijatuhi pidana mati, melainkan dapat menjadi perwujudan pengayoman dan pembinaan terhadap narapidana untuk bertobat dan menjadi manusia yang lebih baik, serta pemenuhan hak asasi manusia.(*)

Exit mobile version