
LANGKAT,SUARA24.COM– Kasus dugaan penganiayaan, dengan terdakwa Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah Syamsul Bahri (53) dan Samsir (28), warga Dusun Lubuk Jaya, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat dengan Nomor Perkara 124/Pid.B/2021/ PN Stb, sudah menjalani beberapa proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Stabat.
Begitu ada kesempatan, korban mengaku melarikan diri ke arah sungai dan berenang menyeberanginya, untuk menghilangkan jejak dari kejaran terdakwa.
“Jangan kasih keterangan asal-asalan, kasihan sama terdakwa ini!! Gara-gara laporanmu, mereka sampe jadi twrdakwa. Jangan karena pernyataan kamu yang mengada-ngada, sehingga orang lain dirugikan.
Begitu juga saat Hakim Anggota Safwanuddin Siregar SH MH menanyakan perihal korban yang diselamatkan terdakwa ke atas boat dan kapan koyaknya baju kaos korban, kembali lagi korban meberikan keterangan yang tak sesuai dengan keterangan awalnya.
#Tak Ada Paksaan
Kepada Safwan, korban juga mengaku tidak ada paksaan ataupun tekanan serta pengancaman dari Ponirin, saat korban membuat rekaman pernyataan, bahwa kejadian pemukulan dan penganiayaan yang dialaminya tidaklah benar.
Bahkan, kepada Safwan, korban mengaku membuat pernyataan itu dengan ikhlas tanpa ada paksaan dari siapapun. “Tadi kamu bilang ke saya, kamu dipaksa buat pengakuan saat direkam. Ini kamu bilang sama bapak ini (Safwan) kamu melakukannya ikhlas, tanpa ada paksaan.
Jadi gimana kejadiannya, kan kamu yang mengalaminya. Kenapa pengakuan kamu bertolak belakang dengan laporan kamu,” kata Sapri Tarigan dengan nada kesal. Akhirnya, kepada majelis hakim korban pun menyatakan, saat dirinya membuat rekaman pernyataan bahwa dirinya tidak ada dianiaya Samsul dan Samsir, tidak ada paksaan dan ancaman dari siapapun.
“Saya membuat pernyataan itu tidak dipaksa dan tidak ada tekanan dari terdakwa dan kelompok tani,” pungkasnya. #Tak ada Visum Dalam persidangan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Renhard Harve SH MH juga membacakan Visum et Repertum dari RSUD Tanjung Pura, atas nama Harno Simbolon, pada 23 Desember 2020 yang menerangkan hasil pemeriksaan, kepala terdapat warna kemerahan di bagian kening/jidat sebelah kanan, dengan diameter 0,5 sentimeter.
“Kesimpulannya, luka memar akibat benda tumpul,” terang Renhard. Pada kesempatan yang sama, Muhammad Iqbal, dokter dari RSUD Tanjung Pura yang melakukan pemeriksaan terhadap korban, juga turut dihadirkan JPU dalam persidangan tersebut, untuk dimintai keterangannya sebagai saksi ahli.
Dia pun menegaskan, dirinya tidak pernah mengeluarkan surat Visum et Repertum atas nama Harno Simbolon. Kata Iqbal, memar yang dialami korban diperkirakannya sudah terjadi tiga hari sebelumnya. “Harno Simbolon datang ke UGD RSUD Tanjung Pura pada 18 Desember 2020 hanya untuk melakukan pemeriksaan dan berobat, jadi saya cuma ngasih obat dan resep, bukan surat Visum et Repertum. Karena, visum itu hanya dilakukan jika ada permintaan dari pihak kepolisian,” terang dokter lulusan UISU itu.
Visum itu, kata Iqbal, tidak ada diminta langsung pihak Polsek Tanjung Pura kepadanya. Jadi, Iqbal tidak ada melakukan pemeriksaan lagi kepada korban, setelah permohonan visum dari kepolisian pada 23 Desember 2020. “Saya tidak ada mengeluarkan surat visum, yang ada hanya resep. Mana ada visum di situ, karena gak ada permohonan visum dari kepolisian ke saya,” tegas Iqbal.
Setelah mendengarkan keterangan dari saksi-saksi selama lebih kurang dua jam, akhirnya Ketua Majelis Hakim Sapri Tarigan SH MH memutuskan persidangan akan dilanjutkan Senin (3/5) mendatang, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ade charge dari terdakwa. #Diminta Objektif Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut Kairul Bukhari, atau yang biasa disapa Ari itu, yang terus mengikuti persidangan kasus tersebut, meminta kepada majelis hakim agar lebih jeli dan objektif untuk menentukan putusan pada akhir persidangan nanti, demi tegaknya keadilan.
“Kan dah jelas, keterangan korban banyak yang tidak sesuai dengan laporannya di kepolisian, keterangan korban terkesan berbelit-belit dan memutarbalikkan fakta. Saksi ahli juga mengaku tidak ada mengeluarkan Visum et Repertum terkait masalah ini,” ketus pendamping Poktan Nipah itu, bersama Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti.
Ari juga meminta kepada majelis hakim agar tetap profesional. Sebab, terdakwa adalah pejuang lingkungan yang terus melakukan rehabilitasi hutan, yang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
“Lahan itu sudah menjadi bagian tanggung jawab Poktan Nipah, yang diketuai oleh Samsul dan merupakan amanah Negara untuk merehabilitasi hutan,” pungkasnya. (Teguh/Tim) Teks foto: Persidangan kasus penganiyaan di Ruang Cakra PN StabatKepada Safwan, korban juga mengaku tidak ada paksaan ataupun tekanan serta pengancaman dari Ponirin, saat korban membuat rekaman pernyataan, bahwa kejadian pemukulan dan penganiayaan yang dialaminya tidaklah benar.
Bahkan, kepada Safwan, korban mengaku membuat pernyataan itu dengan ikhlas tanpa ada paksaan dari siapapun.
“Tadi kamu bilang ke saya, kamu dipaksa buat pengakuan saat direkam. Ini kamu bilang sama bapak ini (Safwan) kamu melakukannya ikhlas, tanpa ada paksaan. Jadi gimana kejadiannya, kan kamu yang mengalaminya. Kenapa pengakuan kamu bertolak belakang dengan laporan kamu,” kata Sapri Tarigan dengan nada kesal.
Akhirnya, kepada majelis hakim korban pun menyatakan, saat dirinya membuat rekaman pernyataan bahwa dirinya tidak ada dianiaya Samsul dan Samsir, tidak ada paksaan dan ancaman dari siapapun. “Saya membuat pernyataan itu tidak dipaksa dan tidak ada tekanan dari terdakwa dan kelompok tani,” pungkasnya.
Tak ada Visum
Dalam persidangan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Renhard Harve SH MH juga membacakan Visum et Repertum dari RSUD Tanjung Pura, atas nama Harno Simbolon, pada 23 Desember 2020 yang menerangkan hasil pemeriksaan, kepala terdapat warna kemerahan di bagian kening/jidat sebelah kanan, dengan diameter 0,5 sentimeter. “Kesimpulannya, luka memar akibat benda tumpul,” terang Renhard.
Pada kesempatan yang sama, Muhammad Iqbal, dokter dari RSUD Tanjung Pura yang melakukan pemeriksaan terhadap korban, juga turut dihadirkan JPU dalam persidangan tersebut, untuk dimintai keterangannya sebagai saksi ahli. Dia pun menegaskan, dirinya tidak pernah mengeluarkan surat Visum et Repertum atas nama Harno Simbolon.
Kata Iqbal, memar yang dialami korban diperkirakannya sudah terjadi tiga hari sebelumnya. “Harno Simbolon datang ke UGD RSUD Tanjung Pura pada 18 Desember 2020 hanya untuk melakukan pemeriksaan dan berobat, jadi saya cuma ngasih obat dan resep, bukan surat Visum et Repertum. Karena, visum itu hanya dilakukan jika ada permintaan dari pihak kepolisian,” terang dokter lulusan UISU itu.
Visum itu, kata Iqbal, tidak ada diminta langsung pihak Polsek Tanjung Pura kepadanya. Jadi, Iqbal tidak ada melakukan pemeriksaan lagi kepada korban, setelah permohonan visum dari kepolisian pada 23 Desember 2020. “Saya tidak ada mengeluarkan surat visum, yang ada hanya resep. Mana ada visum di situ, karena gak ada permohonan visum dari kepolisian ke saya,” tegas Iqbal.
Setelah mendengarkan keterangan dari saksi-saksi selama lebih kurang dua jam, akhirnya Ketua Majelis Hakim Sapri Tarigan SH MH memutuskan persidangan akan dilanjutkan Senin (3/5) mendatang, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ade charge dari terdakwa.
Diminta Objektif
Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut Kairul Bukhari, atau yang biasa disapa Ari itu, yang terus mengikuti persidangan kasus tersebut, meminta kepada majelis hakim agar lebih jeli dan objektif untuk menentukan putusan pada akhir persidangan nanti, demi tegaknya keadilan.
“Kan dah jelas, keterangan korban banyak yang tidak sesuai dengan laporannya di kepolisian, keterangan korban terkesan berbelit-belit dan memutarbalikkan fakta. Saksi ahli juga mengaku tidak ada mengeluarkan Visum et Repertum terkait masalah ini,” ketus pendamping Poktan Nipah itu, bersama Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti.
Ari juga meminta kepada majelis hakim agar tetap profesional. Sebab, terdakwa adalah pejuang lingkungan yang terus melakukan rehabilitasi hutan, yang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. “Lahan itu sudah menjadi bagian tanggung jawab Poktan Nipah, yang diketuai oleh Samsul dan merupakan amanah Negara untuk merehabilitasi hutan,” pungkasnya.
(Teguh/Tim)
Teks foto: Persidangan kasus penganiyaan di Ruang Cakra PN Stabat