LANGKAT,SUARA24.COM- Menyikapi pemberitaan di sebuah media online terkait konflik antara Kelompok Tani (Poktan) Nipah dengan pihak perkebunan sawit di areal Perhutanan Sosial, Kuasa Hukum Poktan Nipah M Ali Nafiah SH, sanagat menyesalkan pernyataan dan sikap Wakil Ketua DPRD Langkat Donny Setha yang terkesan tendensius kepada klien LBH Medan itu.
Ali mengatakan, pihak Poktan tidak pernah mencoba mencari dukungan dari masyarakat diluar dari keanggotaan Koptan Nipah, apalagi memprovokasi masyarakat. Bahkan, saat adanya aksi solidaritas anggota Koptan Nipah yang turut hadir di Mapolsek Tanjung Pura dalam pemenuhan panggilan penyidik terhadap Syamsul dan M Samsir selaku Tersangka. “Itu murni bentuk solidaritas mereka,” katanya, Kamis (18/2) pagi.
Kadiv SDM LBH Medan itu melanjutkan, Wakil Ketua DPRD Langkat tidak menghormati Hak-hak Syamsul dan M Samsir selaku tersangka. Hanya dengan berdasarkan seleranya saja memvonis video tersebut dibuat karena adanya tekanan dari tersangka kepada Harno Simbolon. “Wakil rakyat itu seolah bertindak sebagai Hakim Pengadilan, sementara perkara ini masih dalam tahapan penyidikan,” sambungnya.
Justru, asumsi Wakil Ketua DPRD Langkat itu juga yang tidak menghormati proses hukum itu sendiri. Yaitu melangkahi proses penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik dengan menyimpulkan video tersebut atas adanya tekanan dari tersangka kepada korban. “Penyidik sendiri tidak pernah mempublikasi hasil penyidikan, karena itu sifatnya rahasia,” terangnya.
Pernyataanya itu (Donny Setha) justru pada akhirnya akan menjadikan pihak kepolisian dan korban menjadi tersudut, atas adanya perselisihan antara kedua pihak yang sedang mengalami konflik.
Pada pertemuan rapat pembahasan penyelesaian konflik tenurial yang terjadi antara Koptan Nipah dan pihak perkebunan sawit Immanuel Sibuea yang di fasilitasi oleh Kepala Dinas Kehutanan Sumut turut dihadiri oleh Perwakilan Anggota DPRD Langkat yang mendukung terjadinya perdamaian.
Namun, sikap dan asumsi Wakil Ketua DPRD Langkat ini tidak konsisten dengan apa yang telah menjadi sikap positif DPRD Langkat sebelumnya. Sebab, statement nya ini justru akan memperkeruh masalah dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masayarakat.
“Dengan demikian, menjadi pertanyaan tujuan statement Wakil Ketua DPRD langkat tersebut agar masyarakat juga tidak beropini bahwa Wakil Ketua DPRD Langkat tidak mencari panggung memperkeruh jalan damai yang ditempuh oleh Dinas Kehutanan Propsu dan KPH Wilayah I Stabat, atau ada kepentingan tertentu,” pungkasnya.
Dalam pertemuan di Dishut Provsu, Selasa (16/2) kemarin, selain menyampaikan penyelesaian persoalan dugaan penganiayaan yang dilakukan Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah kepada pekerja perkebunan sawit, Kepala Dinas Kehutanan Provsu Ir Herianto MSi juga menyampaikan terkait status 65 hektar lahan sawit yang berada di areal perhutanan sosial yang dikelola kelompok tani seluas 242 hektar.
Tak hanya itu, Herianto juga menegaskan, akan mengambil sikap tegasnya kepada pihak Immanuel Sibuea untuk menyampaikan pengaduan terhadap Immanuel Sibuea ke Poldasu. “Jika dalam 7 hari ini pihak Immanuel Sibuea tidak dapat menunjukkan alas hak atas tanahnya yang otentik, kami akan mengambil sikap tegas dan melaporkannya ke Poldasu, terkait penguasaan dan pengusahaan kawasan hutan tanpa hak,” tegasnya.
Melalui Kabid Penatagunaan Kawasan Hutan (PKH) Dishut Provsu Joner ED Sipahutar, Herianto menyampaikan, bahwa sejak tanggal 24 Juni 2018 silam, lahan perkebunan sawit itu ditetapkan masuk ke dalam kawasan Hutan Produksi Tetap, seiring dengan dikeluarkannya SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) antara Kelompok Tani Nipah Dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah-1 Stabat.
Joner menambahkan, sesuai Permenhut No P.44 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Pasal 57, Terhadap hak atas tanah yang diterbitkan oleh pejabat berwenang sebelum
diterbitkannya peta register hutan, penunjukan parsial, Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH)/Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang merupakan lampiran dari Keputusan Menteri Pertanian/Kehutanan tentang penunjukan areal hutan di provinsi merupakan kawasan hutan, maka hak atas tanah diakui dan dikeluarkan keberadaannya dari kawasan hutan.
“Itupun yang bersangkutan harus bisa menunjukkan bukti alas haknya, baru bisa arealnya itu dikeluarkan dari kawasan hutan tersebut. Selama 3 tahun sejak ditetapkannya areal sawit itu masuk dalam kawasan hutan produksi, pihak kebun hingga saat ini belum menunjukkan alas haknya,” sambung Joner. (Teguh/Tim)