MedanPendidikanSumut

Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Kasus Korupsi, Apakah ini Menjadi Kado bagi Pelaku Korupsi ?

OPINI,SUARA24.COM

Oleh : Olwin Andrew Pangaribuan

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Pada mulanya KUHP (WvS) dipandang sebagai induk dan wujud dari kodifikasi dan unifikasi. KUHP dinilai tidak dapat menampung berbagai permasalahan dan perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru, yang tentu saja sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, terutama berkaitan dengan sifat dogmatis dan substansial dalam KUHP yang sangat kental dengan aliran klasik dan barat, meskipun memang tidak selalu berbau barat adalah buruk. Oleh karena itu, dalam mempelajari hal-hal yang bersifat dogma atau substansial dalam KUHP hendaknya diiringi dengan pemahaman dan kewaspadaan. Artinya, jika hal-hal yang berbau dogma didalam KUHP digunakan secara kaku (tanpa kebijaksanaan), maka output yang dihasilkan tentu saja menghambat tujuan penegakan hukum pidana, bahkan tidak tertutup kemungkinan menghambat ide-ide pembaharuan hukum pidana Indonesia yang selalu digaungkan. Sehingga sudah sepantasnya kita menggalang pembaharuan pidana Indonesia yang berasal dari nila-nilai dasar dan nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural yang hidup masyarakat di Indonesia

Korupsi tak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary) yang behemoth (buas, rakus, dan tak beradab). Dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah oknum di semua bidang Instansi negeri maupun swasta makin menunjukkan bahwa latar belakang sosial pelaku korupsi sangat beragam. Mereka berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI, Polri, partai politik, pengusaha, sivitas akademika kampus, bahkan elite organisasi keagamaan. Namun, perlahan-lahan mengendap di benak masyarakat kebanyakan sebagai hal biasa, yang bisa dilakukan oleh semua orang, dari kalangan terpelajar (intelektual), pejabat tinggi, rohaniwan hingga masyarakat jelata

Harapan masyarakat agar koruptor dapat dihukum seberat-beratnya kembali terganjal,
menyusul disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tanggal
6 Desember 2022 lalu. Hal ini kian menunjukkan bahwa arah politik hukum pemberantasan
korupsi semakin tidak jelas dan mengalami kemunduran. Betapa tidak, sebagian besar rumusan
pasal tipikor yang dimasukkan dalam RKUHP justru memberangus kerja-kerja pemberantasan
korupsi

Seperti

  1. Pasal 607 KUHP dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.
    Pasal 607 KUHP
    “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
    Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor
    “(1) setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta Rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah)”.
  2. Pasal 610 ayat 2 KUHP dengan Pasal 11 UU Tipikor. Berdasarkan KUHP baru, ancaman hukuman yang ditujukan kepada penerima suap diancam dengan penjara maksimal 4 tahun, sedangkan dalam UU Tipikor diancam paling lama 5 tahun penjara. Untuk hukuman denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta.

Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, seharusnya pidana denda dapat ditingkatkan. Dalam banyak literatur ditegaskan bahwa korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Akibat penyebutan itu, maka ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu di antaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum di dalam UU Tipikor.

Berdasarkan argumen di atas, maka dapat disimpulkan bahwa formulasi pasal tipikor dalam
KUHP menjadi ‘kado manis’ dan karpet merah bagi koruptor untuk kesekian kalinya.
Pembaruan hukum pidana yang mengarahkan negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat adalah langkah yang penting dalam menjaga ketertiban dan keamanan sosial. Dalam menghadapi kompleksitas dan perubahan sosial yang terus berkembang, hukum pidana harus mengambil pendekatan yang lebih luas dan responsif. Dengan pencegahan kejahatan yang efektif, serta respons terhadap perubahan sosial, negara dapat berkontribusi dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan dan adil.(*)

Tags
Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Close