Belum Menemui Kesepakatan di RDP, Puluhan Warga Nginap di DPRD Langkat

LANGKAT,SUARA24.COM- Anggota DPRD Kabupaten Langkat melalui Komisi A, C dan D gelar rapat dengar pendapat (RDP) berdasarkan surat pengaduan masyarakat tentang dampak lahan pertanian yang terendam oleh genangan air aliran sungai Wampu dari bendungan PT. Thong Langkat Energi dan adanya indikasi ganti rugi lahan yang diambil sepihak oleh perushaan, Selasa (15/2/2022) di Aula Banggar DPRD Langkat, di Stabat.

Adapun dalam RDP tersebut, puluhan warga dari Kecamatan Bahorok dan Kutambaru, Kabupaten Langkat, Sumut, mengikuti rapat dengar pendapat dengan PT Thong Langkat Energi (PT TLE). Di hadapan wakil rakyat yang hadir, warga menuntut perusahaan pembangkit listrik itu untuk mengganti lahan mereka yang terendam. Mereka pun memilih bermalam di depan kantro walil rakyat itu, karena tuntutan mereka tidak dikabulkan.

Dalam rapat tersebut di pimpin ketua Komisi A DPRD Langkat Dedek Pradesa S.Sos, menyampaikan, RDP ini digelar untuk mendengar keluhan warga yang lahannya terendam banjir. Kerugian yang dialami warga itu, merupakan imbas dari bendungan PT TLE, yang menutup aliran Sungai Wampu dan Sungai Kelinge.

Diganti dengan yang sesuai

Pada kesempatan itu, Malem Pagi Pelawi (45) wara Dusun X Mbacang, Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru meminta, agar PT TLE dan wakil rakyat memperhatikan nasib mereka. Dia menyampaikan keluhan warga lainnya, yang terdampak dari pembangkit tenaga listrik tersebut.

“Kami menuntut hak kami demi kehidupan yang layak. Kami juga ingin menyekolahkan anak kami dengan baik. Dari hasil lahan itulah kami menggantungkan kelangsungan hidup kami. Kalau lahan kami diganti dengan nilai yang sesuai, kami bisa membeli lahan di daerah lain untuk bercocok tanam. Tolong dengar keluhan kami ini pak dewan,” tegas Malem.

Terlalu dipaksakan

Sebelum adanya kesepakatan, lanjut Malem, pihak perusahaan tetap memaksakan diri membuat bendungan. “Untuk biaya anak sekolah dan makan kami sudah minjam-minjam. Untuk mandi dan minum kami sudah tak punya sumber air bersih. Mata air bersih kami sudah terendam banjir. Sampai detik ini, nasib kami tidak diperhatikan,” tandas Malem sembari meneteskan air mata.

Pada kesempatan itu, pendamping warga bernama Meidi Kembaren menegaskan, sebelum adanya penyelesaian antara PT TLE dengan warga, maka bendungan harus dibuka. Hal itu bertujuan agar genangan air bisa segera surut. Wargapun bisa kembali memanfaatkan lahannya.

Jangan berlarut-larut

“PT TLE sudah membuat kesalahan dan merugikan masyarakat. Jadi kita harus segerah mengambil langkah konkrit. Jangan biarkan masyarakat menderita berlarut-larut. Kalau belum ada penyelesaian, maka harus di-standpass. Buka bendungan PT TLE, biar air bisa segera surut,” ketus Meidi.

Tokoh pemuda Langkat itu menambahkan, selama dua bulan lebih, sekira 30-an hektar kebun sawit warga terendam banjir. Sebahagian sawit disana tak bisa dipanen, bahkan sudah banyak tanaman yang mati. Dia dan warga berharap, agar wakil rakyat dan Pemkab Langkat segera memberikan jalan keluar untuk persoalan tersebut.

“Warga bukan berniat menghambat pembangunan. Kami hanya menuntut biaya pembebasan lahan yang sudah tergenang, akibat dari bendungan PT TLE. Kami minta ganti untung Rp16 juta / rante (400 meter persegi) untuk lahan yang tergenang, agar kami bisa membeli lahan di tempat lain,” tegas Meidi.

Belum ada kesepakatan

Menyikapi hal itu, General Manager PT TLE B Pasribu menegaskan, pihaknya hanya mampu memberikan Rp8 juta/rante untuk biaya pembebasan lahan tersebut. Terkait pembukaan pintu air bendungan, B Pasaribu tak bisa memenuhi permintaan warga itu.

“Kesanggupan kita hanya Rp8 juta/rante. Kalau waraga setuju, itulah yang akan kita bayar. Terkait masalah bendungan, itu gak bis akita buka. Kerena, butuh penyesuaian trafo kalau debit air diturunkan. Nanti, petugas PLN yang repot kalau debit air kita turunkan,” kilah B Pasaribu.

Karena tidak ada kesepakatan dalam RDP tersebut, Dedek Pradesa akhirnya memutuskan untuk menundanya. “Terimakasih atas semua masukannya. Ini semua kan jadi bahan bagi kita nantinya, untuk didiskusikan kembali dan mengambil jalan terbaik,” tandas Dedek.

Nginap di DPRD Langkat

Akhirnya, puluhan warga memilih untuk bermalam di gedung wakil rakyat itu. Mereka tidak akan beranjak dari sana, sebelum kerugian yang mereka alami mendapat kompensasi dari PT TLE. “Kami minta agar DPR dan pemerintah menyelesaikan permasalahan kami ini,” ketus Peringeten Kacaribu.

Hingga Selasa (15/2) malam, warga masih terlihat menduduki Gedung DPRD Langkat. Mereka bertekad, akan tetap berada di sana hingga persolan mereka diselesaikan. Mereka hanya menuntut kompensasi yang sesuai, agar mereka bisa kembali bercocok tanam di tempat yang baru.

Sebelumnya, Puluhan hektar kebun sawit warga di Desa Kuta Gajah dan Lau Damak, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat terendam banjir. Tak hanya produktifitasnya menurun, bahkan tanaman palem di sana juga banyak mati terendam. Warga menuding, PT Thong Langkat Energi (PT TLE) lah yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang mereka alami.

Tak hanya di dua desa tersebut, kebun di Desa Namo Tongan dan Ujung Bandar, Kecamatan Kutambaru, Kabupaten Langkat juga terendam. Sudah berjalan dua bulan genangan air melimpah ke kebun warga. Tanaman mereka tak bisa dipanen, karena terkendala dengan tingginya genangan air.

Akibat Bendungan

Masyarakat di sana menuding, sejak berdirinya pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) Batu Gajah yang dikelola oleh PT TLE, kebun mereka rusak. Bendungan yang dibangun perusahaan pembangkit listrik itu, menyebabkan air Sungai Wampu tak mengalir sebagaimana mestinya. Genangannya bahkan mencapai beberapa kilometer dan membuat aliran sungai semakin melebar.

“Dah dua bulan lebih kami gak bisa panen. Sawit kami mati terendam. Liatlah, genangannya aja lebih dari 5 meter. Kami minta agar PT Thong Langkat Energi bertanggungjawab. Kami minta ganti untug atas kerusakan lahan kami ini,” tegas Hamdani (43) warga Dusun Suka Mulya, Lau Damak, Bahorok, Selasa (8/2) siang.

Kehilangan Sumber Air Bersih

Selain tanaman warga yang gagal panen, masyarakat di sana juga kehilangan sumber air bersih (biasa disebut masyarakat sekitar pancur). Sejak tergenang, pancur tak lagi terlihat. Masyarakat sekitar terpaksa membeli air bersih untuk mereka minum. “Sekarang kami harus beli air untuk minum,” ketus Hermanti Sitepu (59) dengan nada kesal.

Terpisah, pengelola PT TLE Dianta Tarigan menjelaskan, pihaknya sudah berulang kali melakukan mediasi dengan warga sekitar. Beberapa warga, sudah menerima biaya pembebasan lahan Rp6 juta/hektarnya. “Kita sudah menyerahkan ke pemerintahan untuk menjembatani ini. Kalau warga mau dengan nilai segitu, langsung kita bayar,” terang Dianta.

PT TLE merupakan perusahaan pembangkit listrik dengan kapasitas 2 x 5 Mega Watt (10 MW). Daya yang dihasilkan mempu menyuplai kebutuhan listrik untuk lima kecamatan. “Hingga saat ini, energi listrik yang kita hasilkan sudah disalurkan ke Kecamatan Bahorok, Salapian, Sirapit, Kutambaru dan ke Kecamatan Kuala,” tandasnya. (T/A)